Orang tua merupakan panutan dan contoh paling dekat anak. Dari matanya yang berbinar mereka mengamati lingkungan sekitarnya. Pernahkah anda menemukan anak yang tidak merasa tertarik dengan lingkungan sekitarnya? ada, tapi itu tidak normal, karena dari sanalah anak mengenal lingkungan sekitarnya. Apakah kita sebagai orang tua turut andil terhadap ketidak majuan anak? Turut berperan besar. Mau bukti? coba berapa kali kita melarang, mengkritik, dan menyalahkan anak? bandingkan dengan kata-kata yang mendukung, kata yang menenangkan, dan kata-kata yang memuji dan memberikan semangat. Dari survey yang diadakan, anak menerima 40 kali kritik untuk satu pujian. Bagaimana anak dapat menjadi percaya diri, jika setiap langkahnya disertai dengan kritik yang cenderung menjatuhkan daripada memberikan semangat dan inspirasi untuk terus maju. Ironisnya kadangkala orangtua tidak menyadari hal ini. Mereka menganggap hal yang biasa. Tapi tahukan anda? kemampuan emotioanal anak terbentuk 60% pada usia golden ages. Usia sekitar 0-6 tahun. Pada usia itu, anak menyerap apapun yang diberikan dan ditangkap oleh panca inderanya. Otak anak ibarat spons yang dapat menyerap informasi apapun yang terjadi di sekitarnya.
Pernahkan anak dalam fase bertanya, kita tanggapi dengan sambil lalu dan mengganggap pertanyaan tidak cukup bermutu dan kekanakan dan tidak masuk akal. Reaksi sebagian besar orang tua adalah mengabaikan dan mengganggap sepele. Tapi tahukan anda, anak anda sedang belajar. Maka jangan heran ketika usia selanjutnya mereka jadi malas bertanya, malas belajar dan tidak kritis lagi. selamat, anda telah dengan sukses menurunkan semangat dan kesempatan anak anda untuk berkembang lebih optimal. Orang tua sering kali tidak menyadarinya. Hal kecil, namun merupakan awal kemalasan anak untuk bereksplorasi.
Anda punya anak balita, atau tetangga anda, saudara atau siapa saja. Perhatikanlah. . mereka sangat tertarik dengan lingkungan sekitar, mereka bereskplorasi, barang mereka otak-atik, beberapa di banting, ada yang memanjat, ada yang membuat berantakan sekeliling mereka. kegiatan ini sering kali membuat para orang tua senewen. Sehingga cenderung memarahi, mencubit, dan kadangkala memukul. Sekali lagi selamat, anda telah mengurangi semangatnya beresplorasi, dan menghambat perkembangan otaknya!!!
Para orang tua, kadang kita bisa memberikan 1001 alasan untuk pembenaran semua apa yang kita lakukan, namun jauh di dasar hati kita kadang menyesal, dan sering kali penyesalan datang belakangan. Kita telah merasa memberi semua dibutuhkan oleh anak untuk berkembang maksimal, kita bersusah payah mencarikan sekolah terbaik, pendidikan terbaik dan materi terbaik, mencukupi kebutuhannya, tapi seringkali anak tidak berkembang seperti yang kita inginkan. Tahukah anda sebenarnya yang menjadi masalah adalah diri kita sendiri. Kita mencoba membuat fotocopy diri kita kepada anak. Atau kita mencoba membuat fotocopy orang sekitar yang kita anggap sukses. Tapi kadang kita tidak bersedia menanyakan keinginan anak. Kita berikan jalan yang menurut kita terbaik, sementara kita cenderung mengabaikan minat, bakat dan potensi anak. Hasilnya anak menjadi ogah belajar, apatis terhadap pendidikan, dan kehilangan semangat dan antusiasme. Kadang kita mengganggap rendah suatu profesi karena kurang bergengsi, kurang menghasilkan kekayaan, dan tidak menjamin masa depan.
Tahukah anda profesi apa yang bakal menjamin masa depan anak anda? Sebut satu, mungkin ada yang bilang jadi dokter, tahukah anda berapa dokter yang karirnya hancur karena mal praktek atau kecerobohan yang tidak disengaja, mungkin ada yang bilang arsitek, pengacara, ahli komputer, insinyur dan sebagainya, lalu mengapa yang sudah meraih gelar tersebut banyak juga yang menganggur. Jelas pendidikan tinggi juga tidak dapat menjamin masa depan. Lalu apa yang dapat menjamin masa depan anak-anak kita. Jelas kemampuan-kemampuan yang kadang kita sepelekan, kemampuan untuk berempati, menjaga integritas, mampu bekerjasama dengan orang lain, tidak egois dan seperangkat kemampuan yang kita sebut sebagai life skill. Namun berapa orang tua yang fokus pada kemampuan-kemampuan ini. Akan percuma kalau anak kita ahli kedokteran, tapi selalu melanggar kode etik, ahli sipil, tapi selalu memarkup yang tidak masuk akal proyek yang ada, ahli ekonomi, tapi tidak peduli dengan si papa yang kelaparan. Lalu untuk apa semua pendidikan tinggi ini, jika menjadikan putra-putri kita seorang yang egois, tidak peduli lingkugan sekitar, bergaul sex bebas, kesepian, dan merasa dunia ini seperti hutan belantara, dimana kasih sudah menghilang. Kita harus lebih perhatian akan hal ini daripada angka akademis yang kebanyakan tidak bias menggambarkan masa depan anak. Kalau yang pernah membaca buku millionaire mind, Stanley, justru hasil statistik menyatakan bahwa indeks prestasi akademis yang tinggi berbanding terbalik dengan kesuksesan materi.
Orang yang berprestasi tinggi di sekolah cenderung mengumpulkan kekayaan lebih sedikit dari pada orang yang berprestasi biasa-biasa saja. Salah satu alasannya, orang yang berprestasi biasa-biasa saja, dia telah membentuk prisai mental sedari dini. Seringkali nilai akademis mereka tidak menguntungkan sehingga dicap bodoh oleh gurunya di sekolah. Tapi mereka memiliki orang tua yang hangat, pengertian dan memberikan semangat. Mereka selalu berkata " Nak, tidak usah dengerkan apa kata mereka, kalau mereka memang sangat jago untuk meramal masa depan, tentu mereka semua (para guru dan orang-orang yang mengganggap prestasi jelek dan meramalkan masa depan suram) akan menjadi konglomerat dan tidak usah menjalani karir seperti sekarang." jadi mereka sendiri tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya sendiri namun bermain tuhan dengan meramalkan nasib orang lain. jadi buat apa semua prestasi itu kalau tidak membawa kebahagiaan yang nyata bagi anak kita, dan manfaat positif terhadapa lingkungan sekitar.
Saya menyatakan ini bukan berarti tidak menghargai prestasi. Namun yang saya ingin tegaskan bahwa, jangan mengorbankan kesenangan, kegairahan dan keasyikan belajar hanya untuk mencapai keinginan orang tua atau hanya mendapatkan nilai dari guru. Hidup kita terlalu pendek untuk mengejar tujuan yang sempit. Jadi kita sebagai orang tua hendaklah mulai merenung apakah yang kita lakukan membuat potensi anak kita dapat berkembang pesat atau menghambatnya dengan memaksa keinginan kita kepada anak. Mungkin ada yang beralasan, mereka masih hijau, sehingga kita lebih tahu daripada mereka. Apakah pada saat kita berkata seperti itu kita berkata jujur? apakah tidak menyelip rasa ego dan harga diri kita akan naik manakala anak kita meraih prestasi dan karir tertentu, ingat jangan mengorbankan masa depan anak, hanya untuk memuaskan rasa ego kita, karena apapun yang kita lakukan sekarang mungkin akan kelihatan setelah beberapa waktu berlalu, dan pada saatnya, waktu tidak bisa ditarik ulang untuk memperbaiki apa yang telah kita lakukan. Lakukan terbaik, bukan berarti menyerahkan sepenuhnya kewajiban belajar pada sekolah selanjutnya berlepas tangan terhadap perkembangan selanjutnya, melakukan terbaik dengan memberi materi, tapi lupa, mereka juga memiliki kebutuhan emosional yang butuh pemenuhan.
Banyak orang tua yang berprinsip kualitas pertemuan lebih penting daripada kuantitas pertemuan. Tapi seringkali ini hanya alasan kita untuk melepaskan tanggung jawab dalam mendidik anak. Menganggap kehadiran anak dapat menghambat karir atau kesempatan kita untuk maju atau menghasilkan uang dan juga kekhawatiran kita karena sebenarnya kita sanggup memberikan materi, tapi tumpul dalam pemenuhan emosi anak, atau sebenarnya kita hanya orang dewasa yang kesepian yang telah terperangkap dalam permainan perlombaan tikus.Berlari kesana kemari untuk mencari kebahagiaan, namun lupa, bahwa kebahagian yang dicari bukan di luar sana, namun didalam rumah kita sendiri. Para orang tua, kita sedang mengalami generasi yang hilang, generasi yang ditemani oleh mainan-mainan mahal, namun kosong jiwanya.
Generasi yang dihipnotis oleh cerita sinetron yang seringkali tidak sesuai dengan kenyataan, generasi yang mendapat ancaman dari kiri kanan dan sekitarnya. Generasi yang bingung dan haus akan kasih sayang, sehingga rela mengorbankan kesuciannya atas nama cinta. Generasi yang menghancurkan dirinya sendiri. Kita perlu waspada. Dari dini kita harus memasukkan nilai-nilai dasar yang bisa menjadi perisai mereka dalam mengarungi hidup selanjutnya. Nilai seperti kejujuran, integritas, kerja keras, disiplin, pantang meyerah, antusias, gairah dalam mencapai keinginan, berempati, berkomunikasi yang efektif, kemampuan berfikir creatif, berfikir di luar kotak, keteguhan hati, komitmen, dan sebagainya. Berapa dari kita yang peduli akan hal ini, apakah kita lebih senang anak kita mendapat ranking dengan cara mencontek dan cara tidak fair lainnya. Atau kita lebih senang memiliki putra/putri yang berprestasi biasa saja namun menikmati hidupnya. Sekarang saatnya kita benar-benar secara jujur memikirkan masa depan anak kita dengan tidak hanya memberi materi semata, namun juga kebutuhan emosi dan psikologinya menjadi santapan yang lezat yang selalu dihidangkan kepada mereka.
Ingat jika kita memberikan hati kita, maka kita dapat menyentuh ke lubuk hati mereka yang paling dalam. Dan saya yakin, manakala mereka terpenuhi secara materi, emosioanal , spiritual, maka lengkaplah tugas kita sebagai orang tua. manakalah belajar merupakan kebutuah dan kesenangan dalam hidup, adakah orang yang gagal diantara kumpulan orang-orang seperti itu. Kumpulan orang-orang yang selalu menganggap tidak ada kegagalan, yang ada adalah maju atau belajar, dan belajar itu sungguh menyenangkan. Apakah anak anda sudah menganggap belajar itu kegiatan yang menyenangkan. Cobalah bertanya pada anak-anak anda!!
selamat merancang masa depan anak anda Admin Site komunitas homeschooling Indonesia
Nb: Itulah yang menjadi kewajiban kita!!
salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar