Atheisme sering dikatakan sebagai paham yang tidak mempercayai Tuhan, baik itu keberadaannya maupun perannya dalam kehidupan manusia. Sulit untuk merunut sejak kapan paham ini ada di muka bumi. Walaupun demikian, banyak orang yang mengklaim bahwa dirinya atheis. Atheisme mulai diberikan landasan rasional ilmiah ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya The Essence of Christianity dan melakukan kritik agama khususnya agama Kristen.
Atheisme model Ludwig Feuerbach adalah filsafat model “tak lain daripada…”. Hal ini karena pemikiran yang diajukan hanya melihat sesuatu dibalik/dibelakang masalah yang dibicarakannya. Bukannya secara jujur mengungkapkan kebenaran dan kesalahan dari agama tapi langsung masuk kedalam adanya sesuatu di balik layar dari agama itu : “bahwa agama tak lain daripada….”. Landasan filosofis ini sering disebut dengan nama Reduksionisme.
Dalam tulisan ini saya hanya mengungkapkan 4 landasan berpikir para pemikir aliran utama atheisme, tentunya dengan penjelasan singkat ala kadarnya. Keempat pemikiran itu, yang mempelopori filsafat kritis terhadap agama, adalah Ludwig Feuerbach, Sigmund Freud, Friederich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
1. Atheisme Ludwig Feuerbach
Feuerbach adalah orang yang pertama kali memberikan landasan rasional ilmiah terhadap atheisme. Dia juga adalah salah satu pendukung filsafat dialektis Hegelian. Alih-alih mendukung sepenuhnya konsep hegelian, hal yang menurutnya bertentangan antara dirinya dengan konsep Hegel adalah tentang sesuatu yang nyata dan rasional. Bagi Feuerbach, manusia adalah nyata dan rasional, sedangkan roh semesta (yang dinyatakan oleh Hegel dan diasosiasikan dengan Tuhan/Allah) adalah sesuatu yang tidak nyata.
Bagi Feuerbach, agama adalah proyeksi manusia atas keterasingan dirinya. Agama menjadi tempat bagi manusia untuk mengasingkan dirinya dari kehidupannya. Sebagai proyeksi, agama tak lain dari sesuatu yang diberikan penghargaan positif terhadap dirinya. Segala konsep tentang Tuhan, Malaikat, Surga, dan Neraka yang ada dalam agama tak lain daripada hasil proyeksi manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia yang mengkonsepkan hal-hal itu. Manusia yang menciptakan Tuhan, dan bukan Tuhan yang menciptakan manusia.
Agama berdampak positif bagi manusia. Segala sesuatu yang Maha, misalnya Adil, Baik, Penyayang, Pengampun, dll yang ada dalam Tuhan Agama, tidak lain daripada proyeksi manusia itu sendiri. Hal itu sebenarnya telah ada dalam eksistensi manusia. Bukannya menjadikan sesuatu yang Maha itu menjadi milik manusia, manusia justru terjebak dalam pemujaan dan penyembahan kepada agama dan Tuhan yang sebetulnya telah berada dalam dirinya dan menjadi miliknya. Oleh karena itu, manusia harus mengambil kembali ke-Maha-an itu kedalam dirinya. Agama dan Tuhan bukan lagi merupakan sesuatu yang menjadi pusat bagi manusia, tetapi justru manusialah pusat dari segalanya.
2. Atheisme Sigmund Freud.
Sigmund Freud adalah seorang psikiater yang menciptkan dan mengembangkan metode Psikoanalisis. Suatu metode/teori yang kemudian menjadi salah satu aliran besar dalam psikologi. Freud mengikuti alur berpikir Feuerbach dengan filsafat reduksionisme-nya bahwa agama “tak lain daripada…”
Buku karya Freud yang menyatakan atheismenya adalah Totem and Taboo (1913) dan Moses and Monotheism (1938). Menurut Freud, ritual-ritual keagamaan mempunyai kemiripan dengan ritual yang ada dalam gangguan obsesif-kompulsif. Obsesif-kompulsif adalah suatu gangguan psikologi (psychological disorder) dimana seseorang tidak mampu menahan keinginannya untuk melakukan suatu gerakan/aktivitas berulang-ulang, misalnya mencuci tangan berkali-kali, dll. Freud juga mengatakan “neurosis as an individual religion, religion as a universal obsessional neurosis”. Suatu pernyataan yang jelas mengaitkan antara agama dan neurosis.
Dilain pihak, Freud juga mengatakan bahwa agama tak lain daripada sublimasi insting-insting seksual. Teori Psikoanalisis Freud dibangun diatas satu konsep yang disebut Psikoseksual, bahwa dorongan-dorongan seksual (sexual drive/libido) adalah dorongan yang terutama dalam diri manusia yang membuat manusia itu bisa bertahan hidup. Sedangkan sublimasi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang dibangun manusia untuk menyeimbangkan egonya dari dorongan-dorongan yang berasal dari ketidaksadaran. Insting-insting seksual manusia harus diberi bentuk lain agar dapat diterima secara sosial, dan semuanya itu ada dan tampak dalam agama. Agama adalah sublimasi dari insting-insting seksual manusia agar dapat diterima oleh masyarakat.
3. Atheisme Friederich Nietzsche.
“Whiter is God, ‘he cried. ‘I shall tell you. We ahve killed Him-you and I. All of us are murderers…God is dead. God remain dead. And we have killed him…” (Friederich Nietzsche, The Gay Science, 1882).
Kutipan diatas adalah salah satu pernyataan Nietzsche dalam bukunya. “God is Dead” yang dikatakan oleh Nietzsche bukanlah pengertian Tuhan secara literal. Jika Tuhan telah mati berarti pada suatu saat Tuhan pernah ada. Apa yang dinyatakan oleh Nietzsche adalah kematian keagamaan di Eropa. Pengertian God is Dead adalah Tuhan dalam konteks kekristenan di Eropa. Bahwa kepercayaan terhadap Tuhan (pada saat itu adalah Kristen) adalah kepercayaan yang salah. Tuhan tidaklah lagi dapat dipercayai, dan oleh karena itu Dia telah mati, dan seandainya Dia belum mati, adalah tugas manusialah untuk membunuhnya (and we have killed him…).
Pandangan Nietzsche melegitimasi pandangan dalam bidang keilmuan (science) bahwa ilmu pengetahuan akan mengeluarkan Tuhan dari ranah kehidupan manusia. Filsafat, ilmu pengetahuan, politik dan bidang-bidang lain akan memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak relevan dan tidak humanis.
4. Atheisme Jean-Paul Sartre
Sartre adalah salah satu tokoh terkemuka dalam Filsafat Eksistensialis. Dia adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atheisme adalah salah satu inti dari filsafat Sartre.
Sartre menolak konsep tentang Tuhan karena konsep Tuhan berisi kontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradiction). Sartre mendefinisikan Tuhan sebagai konsep yang being-in-itself-for-itself. Konsep Tuhan sebagai in-itself memproposisikan bahwa Dia adalah eksis, sempurna dalam dirinya sendiri, dan secara total tidak relevan. Sedangkan konsep for-itself memformulakan bahwa Dia adalah bebas secara sempurna dan tidak terikat terhadap apapun. Kesimpulan logika haruslah menolak konsep seperti ini karena konsep ini berisi kontradiksi dalam dirinya. (Jean-Paul Sartre, Being and Nothingnes : An Essay in Phenomenological Onthology, 1943).
Selain itu, konsep keberadaan Tuhan membatasi kebebasan dan eksistensi manusia. Konsep Tuhan diadopsi oleh manusia untuk memberiarti dunia ini. Manusia menemukan konsep ini untuk menerangkan sesuatu yang tidak dapat diterangkan (explain the unexplainable). Konsep Tuhan adalah keinginan manusia untuk memenuhi ketidaksempurnaan dan ketidakmampuannya.
=============
Konsep-konsep atheisme diatas dapat berkembang menjadi pemikiran-pemikiran baru dalam aliran-aliran atheisme. Dan perdebatan seputar konsep ini masih terus berlanjut.
Bung Atheis vs Bung Agamis
***dari milis sebelah…bagus untuk dibaca + direnungkan…***
Bung Atheis : Saya pikir ada sesuatu yang tidak masuk akal dari kelakuan orang-orang yang beragama itu. Setiap hari mereka berdoa, sudah tentu doa itu bikin tuhan terlalu sibuk. Kita hitung saja sholatnya orang Islam. Jika tiap orang Islam sholat 17 rakaat sehari (24 jam) dan jumlah orang Islam di seluruh dunia ada 1 milyar, maka tuhan mesti dengar dan mempertimbangkan doa sebanyak 17 milyar kali !!!
Jadi kenapa kita harus mengembalikan semua masalah kepada yang Bung sebut Tuhan itu ? Kenapa kita tidak kembali kepada azas yang sederhana ? Kalau ada masalah pikirkan pakai akal lalu cari solusi yang logis.
Sederhana toch !!!!
Bung Agamis : Analogi yang Bung kemukakan ini terlalu simplistik. Tuhan dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari makhluk-makhluk yang jumlahnya milyaran, dan hubungan antara Tuhan dan makhluk dilihat sebagai komunikasi linier satu lawan satu, dan berlangsung melalui jalur komunikasi fisikal dengan teknologi yang kita kenal sehari-hari. Analogi seperti itu tidak kena sama sekali terhadap aspek realitas yang bersifat transendental, seolah-olah Tuhan pegang HP dan harus siap “dicall” setiap saat oleh umatNya.
Bagaimana kalau Tuhan didekati dengan analogi lain; analogi yang menurut saya lebih mendekati realitasnya dibandingkan analogi di atas — sekalipun juga masih jauh dari realitas sebenarnya karena Dia Maha Tak Terbayangkan : Analogi yang saya maksud adalah: mendekati Tuhan sebagai puncak dari sistem organik yang meliputi seluruh sistem-sistem di bawahnya (di dalamnya). Analogi ini menggunakan pendekatan Teori Sistem.
Pada skala mikro, kita melihat manusia sebagai suatu sistem organik yang mencakup sistem-sistem lebih kecil di dalamnya (manusia bukan suatu entitas yang terpisah dari sistem-sistem yang membentuk dirinya), yakni sistem berbagai jaringan seperti: otot, tulang, kulit, syaraf, jantung & pembuluh darah, paru-paru dsb. Selanjutnya, masing-masing jaringan mencakup sistem-sistem yang lebih kecil lagi, yakni sel-sel. Masing-masing sel mencakup sistem-sistem yang jauh lebih kecil lagi, yakni molekul-molekul. Dan seterusnya semakin kecil: sistem-sistem atom, partikel-partikel subatomik dst.
Sistem-sistem itu, dari yang terkecil sampai yang terbesar, di satu sisi berfungsi secara otonom, dan di sisi lain berhubungan dengan sistem di atasnya secara integral. Dan masing-masing tingkatan sistem itu di satu sisi memiliki sifat-sifat dari sistem-sistem yang ada di bawahnya, dan di sisi lain memperlihatkan sifat-sifat “baru”, yang tidak dimiliki oleh sistem di bawahnya. Misalnya, sebuah sel di satu sisi memiliki semua sifat yang dimiliki oleh molekul-molekul yang membentuknya; tetapi di sisi lain memiliki sifat kehidupan, yang tidak dimiliki oleh molekul-molekul yang membentuknya.
Kita cenderung melihat manusia sebagai sistem organik yang sepenuhnya otonom, tidak tergantung pada sistem lain di atasnya. Sebagai sistem organik yang otonom manusia merasa hidup dan menginjak bumi yang dianggapnya sebagai benda mati, dan merasa berhak memperkosa bumi yang mati itu untuk kepentingannya sendiri. Ini mungkin semata-mata karena arogansi manusia, atau keserakahan manusia, atau kesempitan pandangan intelektualnya yang masih ada –atau justru muncul– pada tingkatan kecanggihan sains sekarang ini.
Sebagai sistem organik (hidup), manusia memiliki kesadaran, yang tampaknya tidak dimiliki oleh sistem-sistem jaringan tubuh yang membentuknya. Namun jaringan-jaringan itu bisa berkomunikasi melalui proses-proses tak-sadar, misalnya melalui berbagai sistem enzym yang bisa mempengaruhi tubuh dan jiwa manusia secara keseluruhan. Gampangnya, sel-sel tubuh kita bisa berkomunikasi timbal balik dengan diri kita sebagai sistem organik yang disebut manusia, yang mempunyai badan dan jiwa. Kelainan-kelainan pada jaringan kita rasakan sebagai manusia; dan sebaliknya, kondisi pikiran kita bisa mempengaruhi keadaan jaringan tubuh, baik secara positif maupun secara negatif.
Kalau –sesuai dengan Teori Sistem– kita melihat ke “atas”, melampaui manusia sebagai sistem, maka timbul pertanyaan, betulkah manusia merupakan sistem kehidupan yang tertinggi, dan tidak ada lagi yang lebih tinggi daripadanya?
Nah, yang krusial di sini: kalau manusia itu saja sudah mempunyai kesadaran, maka –menurut Teori Sistem– sistem-sistem yang lebih besar dari manusia –dan yang mencakup manusia– tentu harus mempunyai kesadaran juga; kesadaran ini secara kualitatif harus berbeda, tetapi mencakup dan mengintegrasikan kesadaran-kesadaran individual manusia yang ada di dalamnya. Sampai di sini pencerahan yang dialami oleh para ilmuwan teoretik ini tampaknya “menghidupkan” kembali panteisme kuno yang dianggap orang sebagai kepercayaan primitif pra-monoteisme.
Dari sinilah saya mendekati makna dari “Tuhan” yang secara monoteistik tradisional dipahami sebagai “pencipta” alam semesta beserta segala isinya, yang terpisah dari ciptaannya. Menurut pendekatan ini, Tuhan dan alam semesta tidak terpisah. Beranalogi dengan sistem yang dinamakan manusia –yang mempunyai badan dan jiwa– begitu pula ‘maha-sistem’ ini mempunyai badan (alam semesta) dan jiwa (Tuhan). Di sini Tuhan tidak dipandang sebagai “pencipta”, melainkan sebagai “roh”, dari alam semesta.
Dan dari pendekatan ini pula saya memahami makna “doa”. Beranalogi dengan sel-sel dan jaringan-jaringan tubuh kita yang dapat berkomunikasi secara timbal-balik (melalui proses-proses enzymatik) dengan diri kita sebagai manusia yang mencakup jaringan-jaringan itu, begitu pula kita sebagai sistem individual yang menjadi bagian dari ‘maha-sistem’ dapat berkomunikasi dengan ‘maha-sistem’ itu melalui proses kesadaran.
Yang unik di sini adalah: oleh karena ‘doa’ itu adalah kegiatan kesadaran, maka efektivitas doa itu sangat erat berhubungan dengan pola pemahaman atau kepercayaan dari kesadaran masing-masing. Doa itu akan efektif bila orang menyadari dan menerima ada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, terlepas dari apakah itu dilihat sebagai “pencipta” dirinya, atau dilihat sebagai “maha-sistem” yang mencakup sistem dirinya. Isi kepercayaan itu sendiri tidak penting; selama orang menyadari ada sesuatu yang lebih tinggi dan yang mencakup dirinya, maka doanya akan efektif. (Ini tidak berarti bahwa doa adalah satu-satunya cara berkomunikasi atau berkomuni dengan “maha-sistem” itu; seorang individu bisa pula berkomunikasi melalui proses-proses lain seperti: proses mistikal dll.)
Sebaliknya, doa sama sekali tidak efektif bila orang tidak menyadari atau tidak percaya bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi, yang mencakup dirinya. Bagi orang seperti itu doa hanyalah sekadar nonsens yang menjadi bahan tertawaan atau pelecehan seperti kata-kata Bung di atas. Bung tidak percaya pada keberadaan Tuhan yang Maha Tinggi dan sebaliknya percaya pada Akal yang sebetulnya tidak lain semacam “tuhan” juga bagi Bung
Selanjutnya, sama seperti sel-sel tubuh yang berfungsi sendiri-sendiri lepas dari kendali dan integrasi dalam sistem organik yang membawahinya bisa menjadi kanker yang akan menggerogoti sistem organik itu, begitu pula manusia-manusia yang merasa otonom sepenuhnya dan berfungsi sesuka hatinya sendiri lepas dari kendali dan integrasi dengan ekologi tempatnya hidup –baik itu disadari sebagai “Tuhan” atau pun sebagai “Ibu Pertiwi” atau “Gaia”– bisa menjadi “kanker” yang akan menggerogoti ekologinya.
Tetapi sekali lagi ya … ini tidak lebih permisalan. Anda tidak akan pernah memahami Tuhan yang Maha Tinggi sampai anda mengalaminya sendiri.
Atheis yang Baik Hati.
Apakah ada seorang Atheis Yang baik hati? Yang senantiasa berbuat baik dan menghindari hal-hal yang jelek walaupun kepercayaannya tentang keberadaan tuhan berbeda dengan kepercayaan pemeluk-pemeluk agama pada umumnya?
Jawabnya : Mungkin Ada dan pastinya cukup langka. Aku pernah mengenal salah satu diantaranya. Sebut saja si Bapak atheis ini dengan initial AYB (Atheis yang Baik Hati)
Sebelumya, perlu dijelaskan bahwa predikat “Yang Baik Hati” adalah predikat yang aku berikan atas penilaian subyektif kuterhadap keseharian dan tingkah laku bapak AYB ini.
Keseharian yang bagaimana?
Yah misalnya saja, bapak ini cukup dermawan. Kukatakan dia Dermawan bukan karena dia kaya raya dan rajin menyumbang dengan jumlah uang yang cukup besar, tetapi dermawan dalam pengertian, dia tidak segan-segan untuk membantu orang lain, walaupun dirinya sendiri masih dirundung kesulitan. Contoh lainnya lagi: dia tidak pernah berbuat kriminal, tidak pernah korupsi-di saat menduduki posisi penting di pemerintahan, bekerja keras dan rela berkorban untuk keluarganya.
Bapak AYB juga Senantiasa berusaha hidup secara sehat (a.l dengan : Tidak minum alkohol , tidak merokok, dan berolah raga secara teratur). Juga senantiasa hidup secara sederhana. Kalau dilihat dari penghasilan nya setiap bulan, sebenernya Bapak AYB ini masih mampu untuk menyewa seorang sopir yang siap mengantarkannya ke mana-mana. Namun demikain Bapak AYB, lebih memilih kemana-mana naik mikrolet. Mobil pribadinya hanya dia gunakan sesekali saja untuk acara-acara penting/ mendesak, seperti ke Resepsi Pernikahan atau ke Dokter. Lalu, dengan hidup sederhana seperti itu, ke mana sisa uang bapak AYB di alokasikan? Di tabung buat biaya pendidikan/kuliah cucu-cucunya dikemudian hari dan juga, itu tadi, sebagian didermakan pada yang membutuhka.
You See? Nggak salah kan kalau ku beri dia predikat bapak tersebut sebagai AYB?
Dengan kebaikan hatinya seperti yang telah ku dijelaskan di atasa, Aku tidak akan pernah terpikir untuk protes pada Allah, kalau pada hari pembalasan nanti Allah menempatkan Bapak AYB di surga-Nya. Lho kok!!!!!! Why?
Pertimbangannya:
1. Surga- Neraka itu hak prerogratif Allah
2. Dari sudut pandang tertentu, “Keikhlasan” berbuat baik dan menghindari hal-hal yang buruk seperti Bapak AYB ini, bisa jadi jauh lebih tinggi dari pemeluk agama umumnya seperti diriku.
Bisa dijelaskan?
Misalnya gini:
- Dalam hal selalu berbuat baik
Aku (Pemeluk agama): berbuat baik untuk mengarapkan pahala dari Allah untuk kehidupan ku di surga nantt (kalau masuk suga)
Pak AYB : Berbuat baik, yah berbuat baik aja dengan ikhlas, boro-boro mengharap dapet pahala, pahala dari siapa? Wong Atheis kok. - Dalam hal menghindari berbuat Jahat / Yang tidak baik:
Aku (Pemeluk agama): aku berusaha senantiasa menghindari hal-hal yang tidak baik karena takut Azab Allah, takut masuk neraka.
Bapak AYB : Senantiasa menghindari berbuat tidak baik, karena secara ikhlas tidak ingin merugikan masyarakat disekitarnya ataupun dirinya sendiri. Menghindari berbuat tidak baik bukan semata-mata hanya karena takut akan di barbeque di neraka.
Pada suatu kesempatan aku terlibat diskusi yang cukup serius dengan Bapak AYB. Beliau sangat prihatin dan kecewa dengan perkembangan aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang kebetulan dilakukan oleh sekelompok orang yang memeluk agama islam.
Agama yang kupeluk.
“Ada yang salah dengan Ajarannya” katanya membuka diskusi.
“Yang salah, bukan ajarannya, tapi pemahaman terhadap ajaran Islam yang salah” kataku membela diri.
“Oh ya? Kalau pemahamannya yang salah, kenapa ‘pemahaman’ yang salah itu terjadi secara global, ‘mendunia’?” tantangnya lagi. Beliau menggunakan kata “mendunia” mengacu pada aksi-aksi teroris yang bisa terjadi di mana saja dan dilakukan oleh bangsa-bangsa yang berbeda-beda, yang sama-sama memeluk agama islam.
“Yah.. karena ‘ketidak adilan’ perlakuan terhadap umat islam juga terjadi di seluruh dunia” tangkisku lagi
“So, mereka membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan juga? (dengan meledakkan Bom yang menewaskan orang-orang yang tak berdosa), Apakah memang begitu ajarannya?”
Pertanyaan-pertanyannya begitu tajam dan kritis datang bertubi-tubi.
Diskusi pun merembet tidak lagi terfokus pada penyimpangan terhadap pemahaman ajaran Islam, tetapi lebih dalam lagi .melebar pada konsep ketuhanan yang mana aku (yang awam ini) kewalahan menanggapi pertanyaan-pertanyaannya.
“Agama adalah Candu” katanya lagi mengutip Karl Marx, menutup segala argumen-nya tentang absurd-nya doktrin dan dogma keimanan yang membuatku tak berkutik karenanya.
Perasaanku bercampur aduk, di satu sisi aku tidak terima atas terinjak-injaknya keimananku atas argumen-argumen-nya, di sisi lain, aku frustasi dengan keterbatasan kemampuanku menangkis argumen-argumen-nya yang tajam dengan argumen yang lebih cerdas.
Tak ayal lagi, bendera putih pun terpaksa ku kibarkan perlahan-lahan:
“Pak AYB, kalaupun bapak benar….. “ aku menarik napas dalam dalam… ..
“kalaupun di hari akhir nanti bapak bisa membuktikan apa yang bapak bilang:
bahwa tidak ada Surga – seperti yang disampaikan Muhammad , atau bahwa Islam itu hanyalah karangan seorang Muhammad.... aku tidak akan pernah menyesal menganut ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad. Bagiku, Islam telah membimbing ku menjalani hidup didunia ini dengan damai.
"Setiap hari, kunikmati ritual sholat yang diajarkan Muhammad, kurasakan kesegaran dan kedamaian tiap kali kubasuhkan segarnya air wudhlu ke wajahku , kedamaian disaat mengucapkan syahadat di akhir sholat, kedamaian di saat kupasrahkan segala sesuatu-nya pada-Nya, kedamaian disaat berbagi dengan sesama, kedamaian di saat ramadhan dan lebaran, Kedamaian atas semua Ajaran Muhammad yang kujalankan.”
Aku melanjutkan
“Pak, Ilmu ku terlalu dangkal untuk bisa mematahkan argumen-argumen dan logika cerdas bapak. Agaknya tidak perlu kita lanjutkan lagi diskusi ini. Bendera kemenangan ada di tangan bapak."
"Namun demikian, kalau boleh aku menganjurkan, janganlah bapak menyampaikan apa yang bapak yakini pada sembarang orang. Karena tidak semua orang-orang memiliki kematangan dan kedewasaan dalam berpikir seperti Bapak. Aku khawatir penyampaian keyakinan Bapak pada orang yang salah akan membawa lebih banyak kerusakan daripada kebaikan”
“Bapak Bisa bayangkan, di Indonesia ini sebagian besar di isi oleh orang-orang beragama. Orang-orang yang sebenarnya percaya pada hari pembalasan. Itupun, masih banyak diantara mereka yang tergelincir melakukan kejahatan dan kerusakan. Ntah apa jadinya kalau di Indonesia ini di isi oleh orang-orang yang tidak beragama, tidak memiliki kematanagan berpikir dan tidak percaya keberadaan Tuhan, tidak bisa kubayangkan kerusakan yang bisa terjadi.” Aku menarik napas panjang, mengatupkan rahangku kerasakeras dan kuakhiri diskusi itu di situ.
Pak AYB, mengangguk angguk pelan, ntah apa artinya. Mudah-mudahan itu berarti persetujuannya untuk memenuhi permintaanku padanya di akhir diskusi itu.
****
assalaamu'alaikum wr. wb.
Atheis adalah golongan orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan. Yang digarisbawahi di sini adalah pengakuannya terhadap Tuhan, bukan keberadaan Tuhan itu sendiri. Faktanya, tidak semua orang atheis adalah atheis sejati. Bahkan boleh dibilang atheisme itu sebenarnya tidak pernah ada.
Seorang ustadz yang dulu aktif berjuang di lapangan bersama-sama para demonstran pada era 1997-1998 merasa geli dengan pengalamannya bersama seorang mahasiswa yang dikenalnya memegang teguh prinsip-prinsip atheisme. Mahasiswa tersebut terkenal sangat anti-Tuhan, anti-agama dan anti segala hal yang berbau religius. Apa dinyana, ketika polisi dan tentara menembakkan peluru tajam ke udara, dia malah berteriak “Ya Tuhan…!”
Adakah orang yang benar-benar tidak percaya Tuhan?
Suatu malam di Puncak, seorang guru saya, Kang Dicky Zainal Arifin, pernah bercerita tentang pengalamannya berdialog dengan seorang atheis. Dialog tersebut kira-kira begini bunyinya :
Kang Dicky : “Kamu tidak percaya sama Tuhan?”
Atheis : “Tidak!” (menjawab mantap)
Kang Dicky : “Mau ketemu Tuhan?”
Atheis : “Mau!”
Kang Dicky : “Dengan cara apa Anda ingin mati?”
(dialog sempat terhenti karena orang atheis ini jadi tersinggung dan merasa dibodohi)
Kang Dicky : “Kamu tidak percaya adanya hidup setelah mati?”
Atheis : “Tentu tidak!”
Kang Dicky : “Perlu bukti?”
Atheis : “Jelas!”
Kang Dicky : “Dengan cara apa Anda ingin mati?”
(orang atheis tersebut makin tersinggung saja)
Dalam Al-Qur’an, iman kepada Allah seringkali digandengkan dengan iman kepada hari akhirat (contohnya pada Q.S. Al-Baqarah : 8). Iman kepada Allah dan kepada hari akhirat adalah dua serangkai yang amat fundamental yang bisa menjadi parameter seluruh keimanan seseorang.
Manusia adalah makhluk yang suka memandang hasil, bukan proses. Tanpa adanya hari pertanggungjawaban di akhirat, mungkin tidak akan ada yang peduli dengan aturan-aturan agama. Surga dan neraka adalah alat-alat Allah untuk memberi motivasi kepada manusia untuk tunduk patuh pada perintah-Nya. Kalau manusia tidak diiming-imingi dengan kenikmatan surga atau dibuat takut dengan siksa neraka, mungkin hanya sedikit sekali manusia yang mau beriman. Namun perlu diingat bahwa semua ibadah kita lakukan hanya karena Allah, bukan karena pahala atau karena surga. Inilah level pemahaman keimanan yang sangat tinggi yang telah mencapai derajat kecintaan kepada Allah.
Beriman kepada Allah dan hari akhir adalah fundamental dalam Islam. Kita tidak dapat memilih salah satu dari keduanya, karena akan menjadi rancu. Kita beriman kepada Allah, tapi bagaimana kita akan terdorong untuk mematuhi aturan-aturan-Nya, sementara kita tidak percaya adanya hari akhirat? Kalau setelah mati kita tidak akan disuruh mempertanggungjawabkan kehidupan kita di dunia, lalu buat apa capek-capek beribadah? Demikianlah ilustrasi pentingnya keimanan kepada Allah dan hari akhir tersebut.
Dialog antara Kang Dicky dan orang atheis tadi sebenarnya mengandung makna yang dalam. Jika ia (orang yang mengaku atheis itu) benar-benar tidak percaya adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati, mengapa ia menolak kematian? Kenapa manusia takut mati? Bukankah hidup ini banyak sakit, lelah dan kecewanya? Mengapa kita menolak kematian, padahal kematian itu adalah istirahat yang tanpa batas?
Jawabannya jelas : di hati kecil setiap manusia tersembunyi kekhawatiran akan adanya pertanggungjawaban setelah kematian.
Tidak ada manusia yang senang dengan kematian, karena mereka khawatir akan dimintai pertanggungjawaban setelah mati. Kaum Muslim yang terjun ke medan perang tidak takut mati karena dijanjikan akan mati syahid, sementara yang syahid tersebut pasti masuk surga tanpa melalui ‘formalitas’ pertanggungjawaban atau hisab. Dengan kata lain, jika kita tidak lagi mengkhawatirkan hidup sesudah mati, maka kita tidak akan takut mati. Sebaliknya, orang yang masih takut mati berarti masih mempercayai adanya Tuhan dan hari akhir, meskipun lidahnya menyangkalnya.
Kebanyakan orang atheis sebenarnya tidak atheis. Mereka hanya orang-orang yang kecewa dengan kehidupan mereka sendiri. Mereka merasa bahwa Tuhan adalah pelayannya. Jika Tuhan tidak memberikan 'pelayanan' yang cukup baik, mereka pun merasa kecewa.
Bibit-bibit dari sikap ini ada di kehidupan kita sehari-hari. Karena sakit sedikit, kita langsung mengeluh. Padahal, hari-hari ketika kita sehat jauh lebih banyak daripada ketika kita sakit. Umat Islam beruntung memiliki panutan sekaliber Nabi Ayyub as. Beliau diuji dengan berbagai cobaan semasa hidupnya. Selama tujuh tahun ia mengalami kegagalan dalam bisnis, ternak-ternaknya mati, bahkan dirinya pun menderita berbagai macam penyakit. Ketika istrinya mengeluh, Nabi Ayyub as. malah berbalik marah kepadanya. Menurut beliau, Allah telah memberi mereka hidup senang selama puluhan tahun. Tidaklah patut bagi mereka untuk berkeluh kesah menghadapi kesusahan yang hanya tujuh tahun lamanya. Inilah fungsi sebenarnya dari matematika, yaitu mengajari kita caranya berhitung dengan benar.
Ada pula orang-orang yang bertanya-tanya, “Jika Tuhan itu memang ada, mengapa ada bencana, kelaparan, peperangan, wabah penyakit dan kemiskinan?”. Pertanyaan ini sama seperti kisah seseorang yang bertanya, “Jika ada tukang cukur, mengapa masih ada orang yang rambutnya berantakan tak terurus?”. Jawabannya jelas, karena masih ada orang yang tidak mau ke tukang cukur. Sama saja dengan berbagai penderitaan dalam hidup manusia yang muncul karena manusianya yang tidak mau ‘datang’ kepada Tuhan.
Kenapa mereka kecewa dengan hidup? Ini sebuah pertanyaan lain lagi. Kuncinya adalah pada tujuan hidup mereka. Jika tujuan hidup kita adalah menciptakan perdamaian di dunia, maka kita tidak akan pernah puas, karena ada saja manusia yang suka merusak kedamaian. Jika tujuan hidup kita adalah menciptakan dunia tanpa kelaparan, maka kita tidak akan pernah puas, karena ada saja segolongan manusia yang suka menindas orang lain. Jika tujuan kita adalah Allah, maka kita akan senantiasa dinamis, karena Allah menyukai orang-orang yang aktif berkarya, dan kita pun tidak akan kecewa menghadapi kegagalan, karena Allah menuntut kerja keras, bukan keberhasilan.
Keberadaan Allah bukan menjadi suatu beban, bahkan menjadi pelipur lara bagi setiap Muslim. Kita berjalan jauh untuk melaksanakan suatu kebaikan, namun kebaikan itu tidak berhasil kita wujudkan. Apakah kita perlu kecewa? Bukankah Allah Maha Melihat amal-amal kita? Bukankah Allah Maha Teliti dalam perhitungan-Nya? Setiap otot yang bergerak, darah yang mengalir dalam pembuluh darah, keringat yang mengalir dan persendian yang kelelahan pasti akan mendapatkan ganjaran dari kebaikan yang dibuatnya, meski pada akhirnya kita mengalami kegagalan.
Orang-orang atheis seharusnya tidak takut mati. Buat mereka, hidup adalah penderitaan dan mati adalah akhir yang kosong, tanpa makna, tanpa pertanggungjawaban. Jadi kalau masih takut mati, bisa dipastikan ia bukanlah seorang atheis.
Memang banyak orang yang bunuh diri, tapi mereka pun tidak bisa dianggap atheis yang sebenarnya. Kebanyakan orang bunuh diri tanpa pikir panjang, tanpa menggunakan akal sehat. Kalau pun sudah memikirkannya sejak jauh-jauh hari, mereka pun tidak pernah melihat orang lain bunuh diri. Karena itulah mereka tidak takut untuk bunuh diri. Kalau saja mereka meluangkan lebih banyak waktu untuk berpikir, mereka tidak akan bunuh diri. Tentu saja, tidak termasuk orang-orang sakit jiwa yang cenderung mencelakai diri sendiri.
Jadi, siapakah yang atheis?
wassalaamu'alaikum wr. wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar